Utang Pajak Penjualan
Sebagai seorang konsumen, kita tahu bahwa produk-produk yang kita beli ditoko ritel merupakan subjek pajak penjualan. (Catatan : di indonesia dikenal sebagai Pajak Pertambahan Nilai - PPN). Nilai pajak ditetapkan sebesar presentasi dari harga jual. Peritel akan memungut pajak dari konsumen pada saat terjadi penjualan. Secara periodik (umumnya bulanan), jumlah pajak yang dipungut dari konsumen akan disetorkan ke kantor pajak melalui bank / kantor pos yang ditunjuk oleh pemerintah.
Hampir seluruh aturan atas pajak penjualan menyatakan bahwa jumlah penjualan dan pajak penjualan yang dipungut harus dicatat secara terpisah atas kas yang diperoleh (kecuali untuk penjualan bahan bakar minyak). Register kas kemudian digunakan untuk mengkredit (menambah) akun penjualan dan Utang Pajak Penjualan. Sebagai contoh seperti kasus berikut ini :
Jika pada tanggal 25 Maret mesin kas Cooley Grocery menunjukan penjualan sebesar Rp. 10.000.000 dan pajak penjualan sebesar Rp. 600.000 (tarif PPN sebesar 6%), maka jurnal yang perlu dibuat adalah seperti dibawah ini
25 Maret Kas Rp. 10.600.000
Penjualan Rp. 10.000.000
Utang Pajak Penjualan Rp. 600.000
(Ket : Mencatat penjualan dan pajak penjualan)
Pada jurnal tersebut, mengapa ditulis Utang Pajak Penjualan? Karena pajak tersebut akan ditumpuk dahulu, maka ditulis sebagai utang di kredit. Namun pada saat pajak tersebut disetor ke kantor pajak, Utang Pajak Penjualan didebit dan Kas dikredit. Pajak penjualan tersebut tidak dilaporkan sebagai beban bagi perusahaan. Perusahaan hanya berperan untuk menjembatani pajak yang harus dibayar konsumen ke kantor pajak. Jadi, bisa dibilang Cooley Grocery hanya sebagai pihak pemungut untuk kantor pajak.
Sumber :
Buku Accounting Principles by Jerry J. Weygandt, Donald D. Kieso dan Paul D. Kimmel
Komentar
Posting Komentar